Logo
Halaman Depan

AwaKASPO Dari Redaksi KASPOpini PojoKASPO KASPOsiana KASPOstory KASPOkro KASPOsideline

SwaraKASPO DowoUmure WartaKASPO

KASPOS Edisi Lama
���
Kaspos Edisi Khusus: Menyambut Pemilu Pasca Orde Baru


'Pemilu' di Desa Ndremawu (1)

Fotone Toni Toni Bakhtiar

Dilihat dari ide ceritanya, tulisan ini tergolong aseli karena didasarkan pada peristiwa yang sebenarnya. Tetapi karena buruknya ingatan penulis, beberapa detil adegan dan juga nama-nama tokoh yang terlibat tak teringat lagi. Terpaksa penulis menggunakan jurus kaspo dan menuliskannya untuk pembaca setia KASPOS. Mungkin cerita ini cocok untuk hadir di sini. Tidak ada pihak yang boleh tebik karenanya.

Pak Gasruk kaget bukan kepalang. Begitu memarkir vespa birunya yang kotor sepulang dari ngajar di SMA sitok, Mbah Joyo tetangga samping rumah tergopoh-gopoh menghampirinya. Belum sempat Pak Gasruk melepas helem merah kesayangannya yang sudah menjadi kecoklatan, pertanyaan Mbah Joyo keburu memburu.

"Nak Gasruk, Nak Gasruk, bener tho sampeyan mencalonkan diri jadi petinggi desa sini?" Mbah Joyo sambil nyincing sarungnya berlari ke arah Pak Gasruk.

"Lho-lho, Mbah Joyo ini dapat dengar dari siapa? Lagipula Pak Inggi Slamet kan jumenengnya masih beberapa bulan lagi?"

"Walah, Pak Gasruk ini kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu. Pilkades itu bulan depan ini!" suara Mbah Joyo kedengaran semakin menggiring.

"Bener lho, Mbah. Yakin ciker, kithing, pet. Saya ini kan sudah punya pekerjaan. Jadi guru Matematika di kota. Itu sudah kepenak Mbah. Buat apa punya keinginan jadi petinggi. Ini mesti cuman move-nya Mbah Joyo saja," Pak Gasruk makin bingung saja menanggapi rumor yang dibawa tetangganya satu ini.

"Move gimana tho. Lha wong semua orang sudah membicarakannya. Cobak sini Nak Gasruk, agak mendekat sini Ngger. Kamu tahu kan, Mbah Joyo ini kerjaannya ngluyur. Ndak ada yang lain. Hari ini saja, Setu Legi, seluruh pelosok Desa Ndremawu sudah Mbah kunjungi. Semua orang ramai membicarakan pilkades bulan depan. Dan sampeyan Nak Gasruk, termasuk yang dibicarakan karena termasuk salah satu kandidat. Nama sampeyan sudah masuk DCS lho."

"Wah ndak bener semua itu Mbah Joyo. Sampai sekarang saya belum pernah mencalonkan diri untuk jabatan apa pun. Sudah Mbah, saya mau istirahat dulu. Entar kan malem Minggu. Istri dan anak-anak ngajak jalan-jalan," Pak Gasruk akhirnya memutuskan pembicaraan.

"Ya sudah sana leyeh-leyeh dulu. Jangan lupa persiapan lho ya. Pokonya kalo sampeyan maju, aku pasti ada di belakang sampeyan. Tenan!" janji Mbah Joyo dengan tetap bersemangat sebelum meninggalkan halaman rumah Pak Gasruk.

Di meja makan, saat makan siang bersama istrinya, Pak Gasruk masih belum juga mengerti. Dari mana berita yang dibawa Mbah Joyo. Apa benar orang ramai membicarakan tentang pencalonan dirinya.

"Dik-Dik, Mbah Joyo itu denger khabar dari siapa tho. Masak katanya aku mencalonkan diri ikut pilkades bulan depan. Apa benar bulan depan masa jabatan Pak Inggi Slamet sudah habis?" ungkap Pak Gasruk pada istrinya, di sela-sela nikmatnya nggado sayur asem mlinjo buatan istrinya.

"Iya lho Mas, tadi aku pas ke pasar ketemu Bu Sunggar. Dia juga melontarkaan hal itu. Aku kaget juga. Habis Mas nggak pernah ngomongin soal itu. Mengenai pilkades memang bulan depan. Pak Inggi Slamet katanya nggak mau dipilih lagi. Selain merasa sudah makin tua, dia merasa sudah kecukupan. Katanya desa ini sudah tidak menguntungkan secara ekonomis," jawaban sang istri makin membuat was-was Pak Gasruk.

"Wah-wah, gawat kalau begini, Dik. Aku nggak pernah mencalonkan apa-apa e. Aku juga nggak pernah punya ambisi apapun di desa ini. Bagiku jadi guru sudah cukup. Apalagi ternak ayam kita sudah mulai maju. Siapa ya yang bikin panas suasana?" kekhawatiran Pak Gasruk kembali berujung dengan pertanyaan.

"Tapi siapa tahu semua itu merupakan aspirasi dari bawah. Jadi ini merupakan kehendak warga desa sendiri agar Mas menjadi pemimpin desa ini. Wajar lho Mas, Mas kan termasuk tokoh yang dihormati," Bu Gasruk tampaknya memberi semangat. Soalnya jika Pak Gasruk jadi Pak Inggi, siapa lagi yang bakal jadi Bu Inggi kalau bukan dia.

"Ah, sudahlah Dik, nggak usah ditanggapi. Mungkin ini kerjaan Mbah Joyo saja yang ingin menyemarakkan suasana. Dia kan orangnya suka begitu. Oh ya, nanti malam kita pergi ke aloon-aloon sama anak-anak. Berangkatnya habis maghrib saja biar ndak kemaleman."

Sampai makan siang selesai rasa penasaran masih melingkupi benak Pak Gasruk.

Saat orang -orang baru keluar dari langgar sehabis sembayang maghrib, dari halaman rumah Pak Gasruk, terdengar raungan vespa yang tentunya milik Pak Gasruk sendiri.

"Jadi ini malam minggoannya, Nak Gasruk?" tiba-tiba Mbah Joyo dengan dandanan persis siang tadi sudah muncul di samping pintu pagar

"Oh Mbah Joyo. Kok tumben Mbah sembahyang di langgar," sahut Bu Gasruk yang sudah nyemplo di boncengan.

" Iya Nduk. Masa kampaye pilkades kan sebentar lagi. Saya harus menggalang lobi dari berbagai kalangan. Saya ndukung bapaknya anak-anak lho Nduk. Kamu juga harus!" tutur dan gaya Mbah Joyo persis jurkam. Gak mbuak blas.

Sebelum Bu Gasruk menimpali dan Mbah Joyo memanjang lebarkan pidatonya, Pak Gasruk keburu menarik gasnya. Tak lupa dibunyikan klakson tanda pamit kepada Mbah Joyo. Mbah Joyo membalasnya dengan lambaian tangan.

"Ati-ati Nak gasruk. Bawa anak-anak...."

Sepanjang jalan Pak Gasruk banyak bercakap-cakap dengan anak lelakinya yang berdiri di depannya. Sementara anak perempuannya dipangku sang istri. Ia jelaskan banyak hal tentang sesuatu yang dilihat dan ditanyakan anaknya. Tentang mesin mobil, tentang tekanan angin, tentang pisang yang bisa menyumbat knalpot dan sebagainya.

Malam Minggu ini begitu cerah. Di Aloon-aloon pun begitu. Semua orang yang di sana merasakannya. Termasuk keluarga Pak Gasruk.

Setelah andok angsle di depan Masjid Jamik, Pak Gasruk mengajak istri dan anak-anaknya jalan-jalan. Ia titipkan saja vespanya pada tukang angsle yang memang sudah dikenalnya. Maklum langganan lama. Benar-benar malam yang penuh mega bintang. Malam ini, sejenak Pak Gasruk dapat melupakan isu yang dihembuskan Mbah Joyo siang tadi. Di taman depan Toko Utama Pak Gasruk berhenti sejenak.

"Itu lho Dik, di depan Toko Utama itu Abdul Hakim, muridku. Ia jualan berbagai macam aksesoris. Katanya sudah sejak SD pekerjaan itu dilakoni. Betah juga ya dia."

"Ya jelas betah toh Mas. Lha wong yang beli aja kebanyakan cewek-cewek kece gitu. Terang saja Dul Hakim betah."

Benar-benar masuk akal alasan yang dikemukakan Bu Gasruk. Bahkan konon khabarnya sohib-sohib Dul Hakim seperti Doni, Dafid, Pekyo, Wiji, dan Mbah Amin sering cangkruk di kiosnya Dul Hakim. Ethok-ethok ngewangi. Padahal pengen nggolek bathen.

Menjelang jam sembilan Pak Gasruk mengajak anak-anaknya pulang. Capek juga ngubengi aloon-aloon. Tapi yang penting menbahagiakan anak-anak sendiri. Karena sepanjang hari, sebagai guru sekaligus peternak, kerjaan Pak Gasruk adalah ngurusi anak-anak orang dan anak-anak ayam. Ironis sekali kalau sampai anak sendiri dilupakan.

Kembali raungan mesin vespa biru meramaikan jalanan kota Tuban. Vespa, apalagi yang berwarna biru, sangat dikenal di SMA Sitok. Disamping Pak Gasruk, ada empat lagi vespa biru. Milik Pak Parlin, Pak Kasmilan, Pak Nurkasan, dan (suaminya) Bu Ermin. Lima sekawan SMA Sitok. Wajar saja Pak Gasruk begitu bangga dengan vespa birunya. Sebenarnya ada satu vespa lagi. Milik (sebehe)Doni. Sayang warnanya metalik sehingga tidak bisa dimasukkan genk ini.

Jam setengah sepuluh lebih sedikit, Pak Gasruk beserta keluarga sampai kembali ke rumahnya. Jalanan Desa Ndremawu sudah sepi. Hanya terlihat beberapa orang jagongan di bawah lampu jalan dekat Pos Ronda. Rumah Mbah Joyo gelap gulita. Orang tua itu memang suka tidur dalam kegelapan. Mengasah kewaspadaan, begitu alasannya.

Begitu masuk halaman, Pak Gasruk dikejutkan oleh kehadiran dua orang yang sedang duduk di teras rumahnya. Sebelum kaget benar-benar meyergapnya...

"Sruk, kowe iku dari mana saja. Ditunggu-tunggu kok nggak segera pulang. Oooo ngajak bocah-bocah toh."

"Iya Sruk, ada masalah penting yang harus dibicarakan. Menyangkut masa depan Desa Ndremawu."

"Ealah, sampeyan toh Mas, Paklik. Sudah lama? Ini, ngajak anak-anak malam minggon," stabil hati Pak Gasruk setelah tahu yang datang adalah Abu kakaknya, dan Tjipto pakliknya.

"Monggo-monggo masuk Mas Abu, Lik Tjipto. Dari aloon-aloon ini lho....," tiba-tiba Bu Gasruk bisa menguasai hatinya kembali setelah sempat stress sejenak.

Tak disangka-sangka para tamu ini ternyata membawa kembali kecamuk penasaran Pak Gasruk siang tadi.

"Sruk, mulai sekarang kamu harus siap-siap. Dua minggu lagi masa kampanye pilkades desa ini. Pemungutan suaranya tanggal empat bulan depan."

"Benar Sruk, Aku sama Mas Abu sudah mengurusnya segala persyaratan administrasi bagi pencalonanmu. Semua beres. Pokoknya kamu tinggal action saja," Lik Tjipto dengan bersemangat meneruskan omongan Abu.

"O......jadi sampeyan bedua toh yang menjadi sumber semua ini," pecah juga penasaran Pak Gasruk, "seharusnya sampeyan ini tahu visi saya. Saya tidak punya ambisi apa pun di desa ini. Saya sudah tentram jadi guru dan peternak kecil-kecilan. Dan, yang lebih penting, saya tidak mau terjun ke dunia pulitik. Pulitik itu kejam lho, penuh tipu daya."

Jawaban terakhir Pak Gasruk ternyata sudah disediakan jawabannya oleh Abu dan Tjipto. "Justru karena kamu mempunyai visi politik seperti itulah aku dan paklikmu ini berani memperjuangkan pencalonanmu. Mulai sekarang desa ini harus dipimpin oleh orang yang seperti kamu. Tidak lagi oleh orang seperti Slamet yang kedonyan, atau seperti Soleman yang ambisius itu. Aku bisa membayangkan wajah desa ini di bawah kepemimpinanmu. Aku tahu betul peta kekuatan kubu-kubu lain. Kamu dapa banyak simpati lho Sruk!" Abu yang juga ketua LKMD tahu betul bagaimanacara untuk menyemangati adiknya.

"Memang benar apa yang dikatakan Masmu itu. Petani di sini semuanya mendukungmu. Jangan lupa, aku ini ketua P3A, Perkumpulan Petani Pemakai Air, aku bisa menggalang banyak dukungan dari sana. Urisan ini kamu nggak perlu ter-discourage," yang ini jelas kipasannya Lik Tjipto.

Pak Gasruk tidak segera menganggapi argumentasi mas dan pakliknya. Setelah meneguk gahwa yang dihidangkan istrinya yang kini sudah tidur, dihempaskannya seluruh beban ke sandaran kursi.

"Monggo Mas, Paklik, disruput kopinya."

"Oh ya, terima kasih Sruk," kata Abi dan Tjipto hampir bersamaan.

Setelah hening beberapa saat,

"Gini Mas Abu, Lik Tjip. Saya ini guru su dah belasan tahun, punya banyak murid. Apa kata murid-muridku kalau tahu gurunya ndaftar jadi kades. Guru itu panggilan nuraniku, Mas. Trus kalau sampek aku bener-bener jadi kades, lalu siapa yang harus ngajar mereka matematika? Lagi pula biaya untuk ikut pilkades kan sangat besar. Jika rumah ini dijual, itu masih belum cukup!"

"Sruk, aku ngerti, jadi guru itu sebuah tugas yang mulia. Tapi orang-orang di sini, di desa Ndremawu, sedang sangat membutuhkan seorang pemimpin. Pemimpin itu juga juga mulia lho. Lagi pula, di sekolahmu sana kamu tergolong guru senior. Sudah saatnya kamu meberi kesempatan kepada para yuniormu. Murid-muridmu bahkan pimpinanmu pasti akan bangga melihat guru dan anak buahnya dibutuhkan di tempat lain. Mengenai biaya pilkades, cobak Tjip, tolong jelaskan pada ponakanmu ini," Abu kelihatan mulai lega setelah melihat adiknya mulai goyah pendiriannya.

"Biaya kampanye dan pilkades beserta seluruh tetek bengeknya tidak perlu kau kuatirkan. Meski yang berhasil aku dan masmu himpun nggak banyak tapi pasti akan cukup. Wargadesa ini makin kritis dan ngerti pulitik. Mereka tidak akan menggadaikan suaranya. Nggak usahlah kamu merisaukan praktik pulitik seperti itu. Dan, minggu lalu di Temayang sudah diadakan rapat keluarga besar kita. Mereka semua siap mendukung pencalonanmu," Tjipto ternyata diplomat ulung juga dalam melobi orang.

Tanpa menunggu reaksi dari Pak Gasruk , Abu dan Tjipto langsung pamit pulang. "Wis Sruk, persiapan dirimu baik-baik. Minggu depan aku ke sini lagi. Ada berkas yang harus ditandatangani."

Pak Gasruk benar-benar tak bekutik menghadapi diplomasi mas dan pakliknya. Sampai dia melepas kepulangan mereka di pintu pagar, belum sepatah kata penolakan pun terlontar dari mulutnya.

Akankah Pak Gasruk setuju dengan rencana pencalonan dirinya ? Bagaimana reaksi murid-muridnya ? Ente harus ikuti seri 2 di KASPOS edisi mendatang. [tb]

'Pemilu' di Desa Ndremawu (2-Habis)



[ AwaKASPO | Dari Redaksi | KASPOpini | PojoKASPO | KASPOsiana | KASPOstory | KASPOkro |

KASPOsideline | SuratEnte | DowoUmure | WartaKASPO | Halaman Depan ]



Odol Munc rat
Kaspos Online