|
|
Kaspos Edisi Khusus: Menyambut Pemilu Pasca Orde Baru 'Pemilu' di Desa Ndremawu (2-Habis)
SEPULANG mas dan pakliknya, Pak Gasruk masih terduduk di kursinya. Gelas kopi yang ada di depannya beberapa kali diangkat tetapi saat itu juga buru-buru diletakkan kembali dengan kecewa karena begitu akan mereguk isinya ternyata sudah kosong mlompong. Tipi yang sejak sore membisu coba disetelnya. Tapi rasa kecewa yang sama menimpanya. Tak satu pun dari enam stasiun tipi menayangkan ndang-ndutan. Pak Gasruk memang dangdutmaniak. Konon kabarnya, mulai dari Ma Rama, Elvi Sukaesih, Jaja Miharja, dan 'Ika' Nurjanah pernah jadi pen palnya. Benak Pak Gasruk tetap dipenuhi dengan 'benda' yang sama dengan siang tadi: pencalonan dirinya dalam pemilihan petinggi. Pak Gasruk yang guru matematika, yang nyambi berwiraswasta kecil sebagai peternak lele dan ayam mau jadi petinggi? Nalurinya terusik. Akankah panggilan nuraninya untuk jadi guru ditinggalkannya? Bagaimana pandangan murid-muridnya nanti? Tidakkah mereka akan beranggapan buruk terhadapnya? Akankah Pak Kepala memberikan izin pencalonannya? Ia masih belum mengerti bagaimana bisa dukungan dari beberapa kalangan mengalir untuknya. Dari para petani yang dikoordinir Paklik Tjipto dan dari aspirasi pemuda yang dibawa Mas Abu. Pak Gasruk merasa tidak pantas mendapat dukungan sebesar itu. Ia merasa hanyalah warga desa biasa yang tak punya peranan penting selain ronda tiap malam Selasa, membayar iuran desa tiap bulan, dan sesekali turun ke lapangan melihat para pemuda main bola. Tetapi sekonyong-konyong nalar matematiknya menyeruak, sebagian besar warga Ndremawu memilih petani (P) sebagai gantungan hidupnya. Sedangkan pemuda (M) yang katanya berpikiran lebih maju, di mana pun adanya pasti merupakan kumpulan masa dalam jumlah besar. P irisan M tentulah bukan jumlah yang signifikan karena di zaman seperti ini tak banyak pemuda yang sudi bergelut dengan blethokan sawah sehingga (P gabung M) dikurang (P irisan M) pastilah jumlah yang besar. Matanya yang bulat berputar-putar, lalu Pak Gasruk sampai pada kesimpulan: du-kungan ini tidak main-main dari segi kualitas dan kuantitas. Tapi nanti bagaimana? Pak Gasruk masih tetap gamang antara panggilan hati dan panggilan tugas. Sampai ia menyusul istrinya bertamasya di pulau kapuk, keputusan belum juga diambilnya. Besok hari Minggu, aku harus benar-benar menggunakannya untuk istirahat. Senin pagi sekali Pak Gasruk sudah siap berangkat. Vespa biru yang sejak limabelas menit sebelumnya dipanasi tapi belum dimandikan siap mengantarnya. "Waah, gagah sekali calon Pak Inggi ini. Mau ada upacara bendera ya Nak Gasruk?" tiba-tiba saja Mbah Joyo sudah anguk-anguk dari balik pagar. "Iya Mbah, ini kan hari Senin. Sudah ya Mbah, saya berangkat dulu," Pak Gasruk tidak ingin menanggapi pancingan Mbah Joyo tentang pencalonan petinggi. Yang jelas Pak Gasruk sudah punya sikap pulitik: jalani saja hidup ini. Pencalonan petinggi toh sudah ada mekanismenya. Biarkan dukungan arus bawah tumbuh dengan sehat dan wajar. Yang penting mengajar adalah tugas utamaku saat ini. Harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Karena itu kabar tentang pencalonan dirinya harus benar-benar dijaga agar tidak tersiar di lingkungan SMA Sitok. Kalau dianalisis lebih mendalam, sikap yang diambil Pak Gasruk terkesan mengambang. Tidak ada ketegasan seperti Bung Haji Harmoko ketika ada yang mengusulkannya menjadi cawapres. Konon sikap seperti ini terpaksa diambil Pak Gasruk setelah ia merasa difetakompli oleh mas dan pakliknya. Tak satu pun argumentasinya didengar. Untuk secara tegas menolak, ia merasa pekewuh dengan mas dan pakliknya yang public figure itu. Hati Pak Gasruk untuk sementara tenang. Hal-hal yang mengganggu hari-harinya belakangan ini dapat dilokalisir. Selama upacara bendera berlangsung Pak Gasruk benar-benar menjalankan tugasnya sebagai satgas upacara dengan baik. Padahal jabatan ini baru pertama kali dipegangnya. Kemul, Dony, dan Sepeh yang dengan santainya ndhodhok sambil kalam-kalaman selama upacara kena tendangan a la kickboxer dan 20 kali push-up. Sedangkan Tekuk, Godar, dan beberapa dari kelas lain disuruh membentuk barisan tersendiri karena tidak memakai topi untuk akhirnya disuruh lari keliling lapangan 10 kali seusai upacara. Anak-anak pun merasa heran, mau-maunya Pak Gasruk mengurusi hal-hal seperti ini yang biasanya menjadi tanggung jawab Pak Jumadi. Tapi Pak Gasruk tetap kecolongan, Wiji dengan nyenyaknya tidur dalam kelas tanpa seorang pun mengusiknya hingga upacara berakhir. Hari-hari pun berjalan wajar. Sesuai dengan yang diharapkan Pak Gasruk. Rahasia tentang 'pemilu' (pemilihan lurah) itu masih tersimpan rapi. Hanya dua orang sohib kentel Pak Gasruk yang tahu. Itu pun karena diberitahu Pak Gasruk sendiri dengan alasan untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan. Pak Kepala Sekolah juga tahu sewaktu Pak Gasruk minta izin untuk ikut pencalonan. Tetapi atas permintaan Pak Gasruk, beliau tidak akan menceritakan kepada siapa pun. Tidak juga kepada guru-guru yang lain. Meski sesuai harapan, Pak Gasruk tetap tak bisa menghindar. Keterlibatannya dalam proses pencalonan itu semakin dalam saja. Beberapa berkas administratif yang diuruskan kangmas dan pakliknya sudah ditandantangani. Mau nggak mau, hitam di atas putih Pak Gasruk resmi ikut meramaikan pesta demokrasi di desa Ndremawu. Meski sudah terlibat dalam, Pak Gasruk berusaha tetap bersikap wajar. Ia tidak mau ngoyo dan penuh ambisi da-lam prosesi ini. "Sruk, mungkin minggu ngarep proses seleksi dimulai. Pastine mengko tak kabari. Sing penting kowe persiapan siang apik," Abu membawa kabar malam itu saat bertandang bersama Lik Tjipto mencek kesiapan Pak Gasruk. "Nggih Mas, Paklik. Atasan saya sudah kasih lampu hijau," Pak Gasruk menanggapinya dengan tenang. "Tepak tenan nek ngono Sruk. Secara administratif gak onok rintangan maneh. Ibarat melok SEA Games kowe wis kudu mlebu TC intensif. Aku karo masmu wis nyiapno dana taktis. Gak gede tapi mesti cukup. Dana iku sebagian soko para simpatisan. Trus, beberapa kiai dan tokoh masyarakat sing tak sowani podho maringi doa restu kanggo pencalonanmu. Kurang opo maneh Sruk?" "Iyo Sruk. Wis ora usah ngreken sainganmu Soleman, sing jarene nyiapno fulus berjut-jut untuk mengalahkanmu." Pak Gasruk hanya bilang nggah-nggih sambil mantuk-mantuk. Dalam hati ia berjanji, kalau pun pertarungan ini harus kulalui, akan kulalui dengan wajar. Tidak akan ada pembodohan rakyat. "Anu Lik Tjip, Mas Abu. Aku siap bertanding, tetapi mungkin tidak akan ada open house segala." "Lho yo gak iso ngono Sruk. Open house itu diperlukan selain untuk menunjukkan keramahan kita juga untuk menunjukkan kesiapan kita. Mosok sing ape milih siap, tapi sing dipilih gak siap. Kowe gak usah kuatir, tak jamin tidak akan ada slentingan jual beli suara di kubu Gasruk," Lik Tjipto yang memang paham tata krama suksesi kembali membuat Pak Gasruk tak berkutik. Sekali lagi keinginan Pak Gasruk terpatahkan. Idealisme Pak Gasruk benar-benar mendapat tantangan. Dalam hati Pak Gasruk berharap jaminan yang diberikan Lik Tjipto benar adanya. Berat nian mengemban amanat.
Minggu di akhir bulan keganjilan terjadi di SMA Sitok. Selama seminggu ini jam matematika di kelas A1 dan A2 selalu kosong. Hanya diisi 'latihan sendiri' dan ditunggui secara bergantian oleh Pak Kasmilan dan Pak Parlin, sohib kentele Pak Gasruk. "Pak Gasruk sedang nggak enak badan. Kalian diminta belajar sendiri," demikian alasan yang dibawa Pak Kasmilan suatu hari. "Horeee...! Hidup Pak Kasmilan! Hidup AC Milan! Hidup Intermilan!" teriak kompak anak-anak Kaspo menyambut hari yang menyenangkan. Pak Gasruk memang dikenal sebagai guru dengan catatan absen paling minim. Tak heran jika anak-anak menyambutnya dengan sangat kegirangan lepas dengan alasan apa Pak Gasruk tidak masuk. "Pak Gasruk hari ini belum bisa masuk karena masih ada tugas yang tidak bisa ditinggalkan," itulah alasan yang dibawa Pak Parlin di hari yang lain. Kontan saja inkonsistensi dua pernyataan dari dua orang dekat Pak Gasruk ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan anak-anak. Satu bilang sakit, satu lagi bilang ada tugas penting. Saat geng Anak-anak Kaspo sedang merger cangkruk dengan kelas lain di bawah pohon imba, berbagai analisis terlontar menanggapi rumor yang beredar. "Dungaren Gasrukan mbolos pirang-pirang dino. Biasane sregep pol. Durung bel wis mlebu kelas! Durung metu nek bel durung muni," Keru yang memang paling vokal di Bio2 semakin keras suaranya. "Alah, paling Gasrukan lagek ngurusi kolam lelene sing kebanjiran utowo kandang pitike sing dibobol luwak," Kemul yang memang paling cuek dengan Pak Gasruk berkomentar sak enake. "Mul, Mul, ojo ngawur Ente. Ngene-ngene aku ijek kuwat tuku pitik!" protes Erief yang memang punya panggilan Luwak. "Ora Mul. Mbendino aku nyegat ning ngarep omah. Gasrukan ora tau niliki kandang. Paling pitike mati kabeh mergo kaliren ," informasi yang dibawa Nanang Si Anak Tokoh mematahkan argumen Kemul yang memang lemah itu. "Tapi sopo ngerti Gasrukan bener-bener marit," Dony mencoba mengutak-atik kembali kemungkinan yang ada, "jare Sebehku, Gasrukan iku nduwe 'wong tuwo' langganan ning Jatirogo. Gasrukan mesti berobat ning kono. Wong Gasrukan iku jare rodok ora jodo karo tangane dokter." Forum cangkruk hari itu benar-benar hanya mengumpulkan semua kemungkinan yang bisa terjadi. Tanpa ada kepastian. Sampai pada session cangkrukan hari berikutnya, "He Nda, he Nda, onok titik terang," Boman anak Fis2 yang sebenarnya pendiam itu tergopoh-gopoh menghampiri kerumunan anak-anak tanpa sempat menyimpan tasnya dalam kelas, "Gasrukan ternyata melok pemilihan petinggi, ning deso Ndremawu!" "Lho kok iso yo?, dhekne lak guru, pegawai negeri, nek dadi petinggi ngkok lak gajine dobel-dobel," Mbah Amin yang berpikiran sempit dan kurang wawasan itu terkejut. "Jare sopo Man? Jare sopo Man?" hampir bersamaan anak-anak yang hadir di situ antusias menanyakan. "Jare Sebehku!" jawab Boman mantap, "Sebehku dadi anggota Tim Seleksi Pemda Tuban kanggo pemilihan petinggi dan lurah masa jabatan mendatang." Anak-anak betul-betul surprise. Sama sekali tak menyangka sepak terjang pulitik yang dilakukan oleh gurunya. "Edan Gasrukan. Kendel tenan wong iku Entuk dukungan soko endi dhekne?" Masjidan yang suka bac a intrik p ulitik di Jaw a Pos mencoba berkomentar. "Gasrukan mestine sugih duwik no. Wong tonggoku sing saiki dadi petinggi ning Sumur Njalak jare entek selikur yuto!" Purnomo benar-benar nggak tahan menahan analisisnya. "Mosok kolam lele karo kandang pitike didol? Sing jelas omahe Mbejagung ora didol. Iku duduk omahe Gasrukan dewe?" jelas kalau bukan Nanang tidak akan ada yang tahu info semacam ini. "Tapi ketoke Gasrukan ora berambisi dadi petinggi koyok calon-calon liyane. Jare Sebehku nilai tes kemampuan matematika Gasrukan cumak 76. Padal jare Sebehku soale gampang. Mosok Gasrukan sing rojo matematika ora iso entuk 100. Mesti iki disengojo," Boman kembali melemparkan umpannya. "Iki mesti strategine Gasrukan: low profile high product," BEC yang sebenarnya ingin menjauh akhirnya turut campur juga. Lain lagi pandangan Banu, cah Bio1 yang kebetulan ikut cangkruk, "Gasrukan mesti mendapat dukungan kuat dari seseorang sehingga dia tidak bisa mengelak lagi." "Sopo wonge, Nu?" "Sokran sing ngerti!" Banu dengan cepat mengadopsi jargon yang mesuwur itu. Sampai jam pelajaran pertama dimulai, para cangkrukers belum sepakat tentang alasan kenapa Gasrukan ikut pemilihan petinggi. Mereka hanya sepakat bahwa hasil jauh lebih penting. Kabarnya hasil penghitungan suara dapat diketahui minggu depan. Akankah Pak Guru Gasruk menjadi Pak Inggi Gasruk. Anak-anak sudah nggak sabar. Merebaknya kabar keikutsertaan Pak Gasruk dalam pemilu di desa Ndremawu membuat Pak Parlin dan Pak Kasmilan kebakaran jenggot. Tapi untunglah jenggot Pak Parlin dan Pak Kasmilan baru saja dikerik sehingga akibat serius tidak jadi muncul. Pak Parlin dan Pak Kasmilan sempat dipanggil Pak Kepala Sekolah perihal kebocoran itu. Mereka berdua menjawab tidak tahu bagaimana bisa rahasia itu bocor.
Akhirnya setelah hampir tiga minggu meninggalkan SMA Sitok, Pak Gasruk kembali menampakkan diri. "Selamat pagi Pak Luraaaah," sambutan hangat diterimanya saat mengisi jam pertama di kelas Fis1. Hadza-hadza yang duduk di belakang cekakaan. "Wis-wis. Ojo braokan kowe. Saiki wayahe pelajaran," Pak Gasruk dengan ringan menanggapi salam anak-anak sambil cengar-cengir. Seolah beban berat sudah terlepas. Rasanya ia menemukan kembali dunianya yang hilang. Semua pun mafhum bahwa Pak Gasruk kalah dalam pemilihan petinggi minggu lalu. Konon kabarnya open house di rumah Pak Inggi Soleman jauh lebih dibutuhkan di zaman susah seperti ini. Tak ada yang menyesal. Pak Gasruk dan juga anak-anak semua sadar berkantor di SMA Sitok jauh lebih bergengsi daripada berkantor di Bali Desa Ndremawu. [tb] 'Pemilu' di Desa Ndremawu (1)
[ AwaKASPO |
Dari Redaksi |
KASPOpini |
PojoKASPO |
KASPOsiana |
KASPOstory |
KASPOkro |
Kaspos Online |